Selamat Berkunjung

Respon dan Masukan Anda dapat Meningkatkan Kualitas Penulis

Minggu, 25 Desember 2016

Idiopathic Thrombocytopenia Purpura



"Safa, udah jam sembilan. Yuk tidur! besok kan kamu ulangan." Bunda mulai mengantuk karena menemaniku belajar dari jam 7. Ayah pun secara tidak langsung memberikan kode untuk segera tidur dengan suara menguapnya yang sangat terdengar jelas dari kamarku.
"Tapi, Bun besok aku bisa jawab soalnya gak ya?"

"Anak Bunda pinter-pinter kok. Lihat deh Kak Daffa yang kerjaannya main game terus aja bisa naik kelas." Bunda menenangkanku dengan memberikan contoh Kak Daffa yang hanya berbeda satu tahun denganku. "Kemarin Kak Daffa dapet peringkat dua di kelasnya. Safa bisa kalahin Kak Daffa kan?" Tatapan Bunda sangat meyakinkanku. Seperti meyakinkanku bahwa aku dapat mengungguli Kak Daffa.

"Iya, Bunda. Safa pasti bisa!"

"Yaudah anak Bunda sekarang tidur yaa. Ayah sama Daffa udah selesai belajarnya dari tadi loh." Langkah Bunda perlahan mendekati pintu kamarku setelah mengecup keningku sebagai penghantar tidurku. Ya, Bunda sering melakukannya setiap selesai aku belajar. Apakah Ayah juga melakukannya pada Kak Daffa?

***

"Anak-anak Bunda sarapannya harus dihabiskan yaa!"

"Daffa! Makannya pelan-pelan!"

"Safa! Makan jangan sambil baca buku dong."

"Ayah!! Cepetan mandinya!! Nanti anak-anak terlambat ulangan!"

Aku meletakkan buku, melanjutkan makanku. 

"Saf, kemarin Kakak dapet rankiing dua!" Sambil meneput dada, Kak Daffa menyombongkan dirinya.

"Iya tau kok." Dengan cueknya aku menanggapi Kak Daffa yang sekarang sudah duduk di kelas 2-A. Kalo aku tanggepin pasti Kak Daffa makin menyombongkan dirinya.

***

Hari-hari yang membuat tidurku tidak nyenyak kini sudah kulewati. Sekarang aku menghabiskan waktu dengan terbaring lemas di kasur. Demam. Panas tubuhku mencapai 39.

Sudah tiga hari aku tidak keluar rumah. Bosan rasanya. Aku mendekati Kak Daffa yang sedang asik bermain game. "Kak, ikutan dong!" 

"Udah sanah kamu tidur aja. Lagi sakit juga!" Tanpa menoleh Kak Daffa menolakku.

"Ih pelit banget! Ikutan dong! Aku bete tau tiduran terus!"

"Ini mainan anak cowok tau!"

Aku tetap memaksa Kak Daffa untuk dapat bermain dengannya. Stick yang tergeletak begitu saja aku ambil dan memohon agar diperbolehkan bermain.

"Apaan sih? Udah tidur sanah! Lagi asik juga!" Sewot Kak Daffa yang berusaha mengambil stick pada tanganku.

"AW! Sakit tau!" tanpa sengaja stick itu terlepas dan aku terjatuh. Aku menangis dan kembali ke kamar. Sedangkan Kak Daffa sedang sewot karena stick-nya terjatuh.

***

Seminggu sudah aku terbaring di kamar. Enggan menemui Kak Daffa yang pelitnya bukan main. Ditambah lagi semenjak kemarin ketika aku merusak stick game-nya, Kak Daffa selalu mengungkitnya. 

"Safa, waktunya mandi. Bunda lap ya! kamu belum boleh mandi soalnya masih panas."

Bunda mulai membuka bajuku dengan perlahan. Mulai dilapkannya kain basah pada tubuhku. Bunda terlihat bingung menatap lengan kananku. "Ini biru kenapa sayang?" tanya Bunda yang khawatir terhadapku, terlihat jelas dari matanya. 

"Itu kemarin jatuh gara-gara Kak Daffa, Bun!"

"Sakit?"

"Enggak, Bun."

"Coba kamu tekan. Kalo bengkak pasti sakit." Tanya Bunda memastikan bahwa itu adalah bengkak biasa.

"Enggak sakit, Bun!" 

"Masa, sih? Coba kamu cubit."

Aku mencubitnya pelan. Tapi tetap tidak ada rasa sama sekali. Aku sedikit mengencangkan cubitanku tapi tetap tidak ada rasa sakit. "Enggak sakit juga, Bun!"

Bunda terlihat khawatir. Ia lebih memilih menuntaskan ritual mandiku. Setelah selasai denganku, Bunda segera menghampiri Ayah yang baru saja pulang dan seperti menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Ayah mendekatiku, melihat lenganku, lalu memerintahkanku seperti apa yang tadi diperintahkan oleh Bunda.

Selesai mandi, Ayah kembali menghampiriku "Yuk! kita periksa lukanya ya sayang!" Ajak Ayah sambil membangunkanku.

Sesampainya di rumah sakit, aku mendapat kabar bahwa aku diharuskan untuk rawat inap. Kata Bunda aku terkena ITP (Idiopathic Thrombocytopenia Purpura). "Aku kenapa, Bun?" Bunda menjelaskan dengan singkat namun dapat aku pahami "Kekurangan sel darah merah sayang. Besok-besok jangan kecapekan ya." Nasihat bunda menenangkanku.

"Yah, aku gak ikut ambil raport bareng dong?" Aku mengeluh. Raport pertamaku tak dapat kusaksikan secara langsung.

***

"Sayang, kamu dapat ranking satu!"
Bunda, Ayah dan Kak Daffa memberiku selamat.

4 komentar:

  1. Kalo di tambah prasa "di depan liang lahatku" kayaknya bakalan mantep nih cerpen

    BalasHapus
  2. Ini keren Yud. Bagus. Ada hal yang bisa dipelajari. Bolehlah buat bahan cerita di kelas gue. hehehe

    BalasHapus