Dengan langkah tergesa, Budi
mengejar waktu untuk sampai ke lokasi. Keringat yang mulai memperlihatkan
wujudnya pada sela-sela kemeja tak dihiraukan olehnya. Melangkah, dengan irama
yang semakin cepat. “Pake segala ban kempes, sial!” Ketus dalam hati yang
semakin mempercepat langkahnya.
“Yaampun si Budi HP-nya ketinggalan. Andre!! Cepetan
bawain HP Ka Budi. Siapa tau masih di
depan gang!!” Andre yang mendengar teriakan Ibunya langsung berbegas lari
dengan kecepatan yang biasa ia gunakan ketika mengambil nilai lari 100 meter di
sekolah. “Kaaa!!! Ini HP lu
ketinggalan!!” Beruntung jalur rumah Budi hanya satu jalan untuk menuju
pangkalan ojek. “Ini dari tadi Ka Nur nge-BBM
terus.” Tanpa basa-basi ucapan terima kasih, Budi langsung membuka BBM-nya.
“Ah gila!! Pesenin gue ojek
online dong Ndre!”
Andre merogoh saku celananya. Namun
sayang, Andre terbiasa menggunakan celana training
yang tidak ada saku celana. “Hehe gue gak bawa HP, Ka.”
Tanpa aba-aba, tanpa hitungan
wasit maupun peluit tanda mulai, Budi langsung berlari melebihi kecepatan
Andre. “Lah, bisa lari juga tuh orang.”
Budi. Kau semalam suntuk tak
dapat tidur memikirkan rencana, namun sayang Kau tak mempersiapkannya dengan
matang.
Tukang ojek yang setia dengan
pangkalannya kebingungan melihat kawan bermain kartu remi sampai larut malam
berlari dengan cepat. “Lu ngapa, Bud?” Tanpa jawaban konfirmasi atas
pertanyaannya, Budi langsung duduk di atas jok kawan bermain kartunya itu. “Udeh
cepetan anterin gue ke Condet!”
“Gak bisa lebih cepet apa Lu?”
“Ini udeh mentok, Bud.”
“Gue tambah ceban dah, kebut!”
“Oke, Bud! Pegangan!”
Dengan kecepatan 80km/h ojek itu
melaju, menyalip dan menerobos lampu merah. Tak peduli dengan kepala yang tak
dibungkus dengan helm, yang penting sampai pada tujuan.
“Kiri. Pertigaan depan belok
kanan, terobos aja lampu merahnya”
“Turunin gue di depan lapangan
depan. Duitnya ntar malem ya, gue gak bawa duit lebih nih.”
Dengan tergesa, Budi turun dari
motor. Membayar jasa ojek dengan DePe
janji dan ucapan terima kasih. Bergegas melangkah, sambil mengetik pesan pada
Nur. “Lu dimana? Gue di gang nih.”
“Masuk aja, Bud.” Balasan Nur
membuat hati Budi ciut. Tambah lagi suara musik dangdut dengan lagu Belah Duren makin membuatnya melangkah
layu. Tatapan orang yang sering melihat Budi dulu sering kemari, bingung atas
kehadirannya. Dibalasnya tatapan itu dengan senyum paksa dari Budi. Di ujung
jalan, Budi melihat Nur, Nur membalas tatapan Budi dengan senyum yang penuh
arti. Nur yang melihat Budi berjalan dengan layu mendekat, menepuk pundak budi
yang mana kemejanya telah lusuh oleh keringat. “Bau apek Lu, Bud!” Budi hanya
membalas dengan senyum. Nur yang tak mampu melihat wajah Budi karena terlalu
tinggi tubuhnya serta keberaniannya membuat Ia menunduk sambil mencari minyak
wangi untuk menghilangkan bau apek tubuh Budi.
“Angkat tangannya!” Suruh Nur
pada Budi yang diikuti dengan semprotan minyak wangi.
“Udah rame kan, Bud? Lu kelamaan
sih! Niat Lu buat bilang ‘TIDAK’ udah gak bisa. Sekarang Lu beli amplop dulu
deh. Abis itu kita masuk. Senyumnya gak usah dipaksain gitu. Ikhlas, Bud!!
Bunga udah bukan milik Lu lagi!”
Baper aja ceritanya wkwkwkwk
BalasHapusbaper amat lu bang wkwk
HapusKocak ih ceritanya,, tapi tetap nggak ngerti klimaksnya dibikin begini :D
BalasHapusGk usah dimengerti, cukup baca aja :D
Hapus