Air.
Bagaikan air yang mampu beradaptasi dalam setiap ruang. Memenuhi tanpa sela.
Benar sekali. Dahulu, saat kuingat-ingat semuanya. Aku dan kamu dalam keadaan apapun itu selalu menjadi kita. Mengerti saat aku sedang memanas, kamu perlahan menuangkan air sejuk agar kembali pada suhu yang sewajarnya sampai pas untuk diminum. Mengerti saat kamu sedang mendingin diam, aku hadir dalam kehangatan agar kembali pada suhu yang sewajarnya sampai pas untuk diminum.
Seperti air dalam sungai yang mempunyai alur untuk setiap kisah yang mengalir. Kerikil, bebatuan, pohon tumbang yang tersangkut bahkan sampah penduduk yang menjadi masalah dapat kita lewati dengan tenang. Tenang. Sangat tenang. Dan pada kesejukan embun di pegunungan itu datang, gemercikmu sangat merdu. Melupakan suara kicau burung yang sedang meracau cemburu. Mengalahkan bisikan pepohonan yang berkumpul mengeluarkan suara halus yang seakan membicarakan kita.
"Apa itu?" Pertanyaan timbul begitu saja mengalir dari benakmu. Menimbulkan rasa ingin tahu yang mengalahkan segalanya. Aku tak menjawab, karena aku pun tidak tahu benda apa itu.
"Sayang, banyak butir air berkumpul disanah! Aku ingin kesanah!" Matamu berbinar memancarkan keingintahuan begitu besar. Terlihat jelas oleh mata, banyak butir air masuk kedalam sela rongganya, menimbulkan gemuruh tiada henti. Aku berhenti, kamu tetap mengalir mendekati rongga yang menghisap butir air lainnya.
"Sayang! Tunggu!!" Kutarik tanganmu, kamu menepis dengan pelan seraya berkata "aku ingin kesana!"
Diam. Tak dapat kumenahan rasa yang hadir dalam hatimu. Dan kamu, tetap mendekat. Tertarik arus memasuki rongga yang aku tak tahu apa itu namanya. Bukan batu, bukan pula pohon. Tapi rongga yang berbentuk melingkar sempurna.
"Aaaaaaaa!! Sayang tolong aku!!!" Kumendengar jeritan takutmu. Terhisap kedalam rongga yang panjang itu. Kumengalir dengan cepat mendekati gemuruh, melewati setiap butir air yang juga ingin kesanah. Mengikuti rongga dari bilik luar, mengalir disisi untuk mencapai ujungnya. Namun maaf sayang, sampai tepi sungai rongga itu tetap mengalir. Mengirim setiap butir air kedalam sebuah bangunan yang bergambarkan gunung tempat kita tinggal. Gunung Salak.
Aku mencari. Menerjang bebatuan, terjun bebas, terhimpit sampah bahkan menyelinap kerumah manusia.
Menyusuri sungai-sungai hitam di tengah kota.
Kotor! Sangat kotor!
Merelakan diri tercemar.
Mengikhlaskan diri terhanyut tak tentu arah.
Aku marah. Ketika melihat butir air lainnya terperangkap dalam plastik dengan gambar Gunung Salak. Benci saat teman butirku terjebak didalamnya.
Apakah kamu disana juga? Terjebak bersama butir air lainnya?
Akankah aku dapat kembali bersamamu? Mendengarkan gemercikmu yang indah? Terlupakan akan kicau burung yang cemburu itu? Menghiraukan bisikan-bisikan pohon itu?
Gua suka pemilihan katanya. "Meracau". Haha. Kerennn
BalasHapusMeracau mulu lu bang haha.
HapusMakasih yaa bang.
the power of "galau"
BalasHapusGak galau gak nulis ndo
Hapus