Sumber: Google |
Secara kasatmata, yang saya lihat ialah dua pemandangan yang berbanding terbalik dengan batas satu pohon. Pada sisi kiri menunjukan pemandangan yang asri, rumput hijau, banyak pohon lainnya, langit yang cerah, serta terdapat tiga kupu-kupu yang sedang terbang. Berbeda dengan sisi kanan, kondisi yang sangat menyedihkan dengan tanah yang tandus dan kering, pohon yang tidak rindang serta langit yang gelap, bahkan tidak ada kupu-kupu terbang.
Dari Anas, dia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, "Dan perumpamaan teman duduk yang baik itu bagaikan penjual minyak wangi kasturi, jika minyak kasturi itu mengenaimu, maka kamu akan mencium bau wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jelek adalah seperta tukang pandai besi, jika kamu tidak kena arangnya (percikannya), maka kamu akan terkena asapnya." (HR. Abu Dawud)
Lalu, apa hubungannya?
Sebuah lingkungan yang baik akan menghasilkan pemandangan yang indah serta nyaman untuk ditempati, sebaliknya lingkungan yang jelek akan menghasilkan suatu ketidaknyamanan.
Sama halnya dengan pertemanan, atau lingkungan tempat kita berinteraksi, jelas dikatakan oleh Rasulullah, meskipun kita tidak dikenal oleh si penjual parfum, tentunya kita dapat merasakan wanginya. Begitupun dengan pandai besi, sebaik apapun kita mengenalnya, namun jika kita berada dekatnya, minimal kita kena asapnya.
Dalam hal ini, saya sendiri menyimpulkan bahwa penjual minyak wangi ialah orang yang akhlaknya baik, serta berilmu, meskipun kita tidak mengenalnya jika kita berada di suatu tempat bersamanya, maka baik pula sekitar kita. Dan si pandai besi ialah orang yang berkebalikan.
Apakah kita akan tetap berada dalam lingkungan yang gersang? panas? tanpa kehidupan? dan tetap bersendau gurau dengan si pandai besi?
Jawabannya pasti tidak, meskipun beberapa mulut berkata "Ya" tapi saya yakin hati kecil kalian tidak menginginkannya.
Berkaitan dengan postingan sebelumnya, Zona Nyaman yang semu, sedang saya lawan. Menantang Zona Baru untuk pindah kedalam lingkungan yang baik.
Aneh memang. Ketika kita tidak mengetahui tentang satu hal, tapi kita memaksakan langsung terjun pada hal tersebut, apa tidak pusing?
Bagaimana kalo saya beberkan pendapat saya pada masa lalu?
Mengenai "Liqo". Cukup sederhana apa yang ada dipikiran saya, "Apaan tuh Liqo? Lingkaran Qonyol?."
Di Fakultas Ekonomi UNJ, setiap Mahasiswa Baru di buatkan berkelompok. Mengadakan Liqo yang seakan dipaksakan (dalam pikiran saya). Lingkaran kami awalnya besar, namun hari berganti, belum ada satu semester kami secara perlahan menghindari hal tersebut. Padahal, Murobbi kami dulu ialah Ketua HMJ EA.
Sayang, sampai mendapat julukan 'mahasiswa akhir' saya masih tetap dengan pikiran yang sama. Sempat menghilang dari kegiatan kampus, mengindahkan diri dengan mbak skripsweet. Sampai pada suatu hari, seorang adik kelas dalam organisasi menyampaikan kebiasaan mengupingnya, "Kak, kemarin aku denger kalo kakak dicariin sama si fulan."
Indah memang, beberapa hari kemudian kami bertemu. Ia menyampaikan bahwa ingin menjaga silaturahmi kita, dengan cara "Liqo".
"Sama siapa aja?"
"Sama para mantan, Yud" (Beberapa mantan ketua UKM yang sempat saling curhat.)
"Murobbinya?"
"Bang Fulan, Yud." (Mantan Ketua BEM UNJ yang sempet di D.O, tau kan?)
"Boleh deh"
Beberapa pertemuan sempat terjalin, namun vakum beberapa bulan karena sidang dan kesibukan lainnya. Dan Alhamdulillah, saat ini setiap Senin ba'da Isya, kami bertemu di Masjid Ulul Albab Kampus B UNJ.
Sekarang saya menyadari bahwa "Liqo adalah minyak wangi, sekumpulan pohon rindang, dan lingkungan yang baik."
Sumber: Google |
wih mantep nih. ceritain dong manfaat yang dialamin sendiri apa dalam mengikuti liqo
BalasHapusGw pernah ngalamin bikin liqo sendiri sama tmn sekelas dan murobinya tmn sekelas sendiri. Jalan beberapa kali doang liqonya.
BalasHapus